Jumat, 02 Maret 2012

Masih Normalkah Kita?

     Dulu, jika berada di tengah sekumpulan orang, sudah sangat wajar apabila terjadi perbincangan akrab antar individu, seperti di angkutan umum, ruang tunggu, keramaian, atau pertemuan. Perbincangan tersebut isinya bisa menyangkut berbagai persoalan ringan dan serius dalam suasana santai. Kadang interaksi seperti itu bisa membawa seseorang dalam suasana kekeluargaan. Kemampuan seseorang berbicara dan mengembangkan bahan pembicaraan di tengah sekumpulan orang menjadi ukuran ahli atau tidaknya mereka bersosialisasi dalam masyarkat. Dalam artian kalau seseorang kurang atau sama sekali tidak bisa berbicara atau setidaknya berbasa-basi dengan orang lain, itu berarti orang itu dianggap tidak normal.  
     Tapi kini pengertian itu semakin jarang terimplementasi. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, seperti waktu yang semakin berharga, kerepotan berinteraksi dengan orang lain, lingkungan yang tidak mendukung, dan yang paling efektif untuk memberangus kemampuan berkomunikasi lisan antar individu, kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun sesungguhnya tidak seluruh lapisan masyarakat yang terimbas pada fenomena tersebut, hanya pada generasi melek gadget (istilah untuk teknologi komunikasi) yang lahir pada era 80’an keatas. Sudah merupakan pemandangan biasa apabila dalam sekumpulan orang yang tidak saling mengenal dalam berbagai usia dan latar belakang, anak muda berusia dibawah 30 tahun lebih suka mengakrabi telepon genggam modernnya, daripada berbincang dengan seseorang di sebelahnya. Kelakuan anak muda itu adalah sesuatu yang pasti akan dianggap aneh dan sangat egois apabila terjadi pada era sebelum tahun 1990 (masa ketika gadget belum merajalela).
     Dalam jajak pendapat yang dilakukan pada responden muda (generasi melek gadget) di beberapa kota besar dan kecil, 70 % menganggap bahwa gadget lebih menarik dari sebuah obrolan secara langsung. Sekitar 27 % menganggap gadget menarik, tapi obrolan juga tetap interaksi yang penting. Hanya 3 % responden yang menganggap gadget hanya sekedar kebutuhan alternatif dalam berkomunikasi, dan tetap mempertahankan komunikasi lisan. Responden yang tergila-gila pada gadget lebih banyak berasal dari kota besar, dimana situasinya sudah sangat mendukung untuk mengurangi interaksi sosial secara langsung dengan berbagai alasan. Sedangkan respoden yang tidak begitu antusias terhadap perkembangan teknologi komunikasi adalah mereka yang tinggal di kota kecil atau pedesaan, meskipun peredaran gadgetpun sebenarnya sudah sampai ke daerah mereka.
     Bahkan di kalangan muda juga banyak yang tidak ingin direpotkan dengan percakapan ramah tamah dan basa-basi, yang bagi mereka terlalu terpaksa dan memaksa. Dalam situasi apapun mereka ingin menikmati dan menggunakan waktu sesuai yang mereka inginkan tanpa ada aturan yang membatasi, baik tertulis atau tidak. Dengan anggota jajak pendapat yang sama, 85 % responden menyatakan tidak ingin berbicara sekumpulan orang yang belum dikenal. Sekitar 10 % menyatakan tidak keberatan untuk berbicara dengan sekumpulan orang yang baru pertama ditemui, walaupun sebenarnya enggan. Hanya 5 % yang selalu siap berbicara dengan sekumpulan orang yang belum dikenal, dengan alasan sopan santun atau ramah tamah.    
Generasi Autis
     Dengan fakta diatas, sudah menggambarkan bagaimana sikap generasi muda sekarang yang sudah tidak tertarik lagi ramah tamah interaksi sosial. Jika generasi mereka, yang baru mengenal gadget saat mereka tumbuh, saja sudah mengalami pergeseran perilaku seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana jauhnya pergeseran tersebut bagi generasi selanjutnya. Sekedar penjelasan, bila mereka yang mengenal alat komunikasi dan segala kemudahannya itu pada saat mereka tumbuh, sudah pasti orang tua telah mengajarkan norma sosial pada mereka saat gadget belum merajalela. Sedangkan bagi generasi yang ketika lahir sudah disediakan begitu banyak fasilitas gadget dengan segala kemajuannya yang mencenggangkan, tentu orang tua mereka tidak punya banyak waktu untuk mengenalkan norma kehidupan yang sangat berguna bagi masa depan mereka. Bahkan bisa jadi orang tua tersebut juga sudah terjangkit virus gadget. Pasti sangat konyol sekali kalau seorang ibu untuk menyanyikan lagu nina bobo saja harus men download lagu tersebut, untuk kemudian telepon genggamnya yang menyanyikannya pada sang anak. Bukan mulut ibu itu yang menyanyikannya. Tapi itu memang benar terjadi!

Gambar sebuah gadget (photo oleh google)
     Dengan banyaknya kalangan muda yang lebih tertarik pada gadgetnya daripada berinteraksi sosial, tentu akan semakin banyak pemandangan orang-orang yang lebih terpaku pada sesuatu yang digenggamnya di tempat-tempat umum. Mereka asyik dengan diri mereka dan dunia mereka sendiri, tanpa memperdulikan situasi yang terjadi di sekitarnya. Mirip keadaan yang dialami oleh seseorang yang mengidap autis. Autis dalam pengertian umum adalah kondisi manusia yang sejak lahir atau masa balita tidak bisa membentuk hubungan sosial atau berinteraksi dengan pihak lain. Dan gejala generasi autispun semakin menjadi-jadi di sekitar kita.
     Bahkan anehnya generasi tua yang masih mempertahankan interaksi sosial sebagai sikap beramah tamah, menjadi semakin terlihat kuno dengan kebiasaan tersebut di sekumpulan orang. Jadi orang yang tidak sedang mengakrabi gadget dan memilih bercakap-cakap dengan rekan disampingnya, malah lebih menimbulkan prasangka yang negatif atau marjinal. Sedangkan generasi autis yang melek teknologi dianggap sebagai sekumpulan manusia modern yang punya kelebihan. Repot kan!
So What Gitu Lo!
     Benar pernyataan subjudul diatas, so what gitu lo! Toh fenomena yang digambarkan baru saja, tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat luas. Sebatas tidak mengganggu ketertiban umum dan hukum tertulis atau tidak tertulis, apapun yang dilakukan oleh seseorang tetaplah merupakan kewajaran.  Justru tidak normal apabila meributkan sesuatu kewajaran tersebut. Sikap itu bisa dianggap gagap budaya atau lebih ekstrem lagi, menolak kemajuan jaman. Masalahnya, dan mungkin hal itu menjadi masalah yang sangat rumit, timbulnya generasi autis tersebut bisa merusak tatanan moral keluarga dan norma masyarakat yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia.
     Kita tahu terdapat tiga pilar penting untuk membentuk masyarakat yang baik, yaitu moral keluarga, norma masyarakat, dan ajaran agama. Masing-masing dari tiga pilar tersebut saling melengkapi dan mengisi. Satu saja dari tiga pilar tersebut tidak berfungsi, dibutuhkan pengganti sesuai dengan kemampuan berpikir atau tingkat intelektual dari masing-masing individu. Dan jika fungsi dari keluarga digantikan atau tergerus oleh teknologi modern, tentu akan sangat sulit mencari penggantinya, kecuali individu tersebut memiliki daya nalar positif yang bisa dipertanggung jawabkan. Itupun tidak menjamin kelancaran individu tersebut saat terjun kedalam masyarakat.
     Sampai saat ini belum pernah ada studi yang memaparkan dampak buruk dari teknologi gadget bagi masyarakat pada saat ini dan saat yang akan datang. Mungkin ada banyak kepentingan yang menolak penelitian tersebut, dan tindakan mewaspadai perkembangan teknologi modern bisa dianggap pelanggaran HAM. Bahkan di berbagai media pun lebih dipenuhi dengan iklan alat komunikasi paling terakhir, dan menempatkan tulisan tentang sisi negatif dari penggunaan telepon genggam di bagian yang paling tersembunyi. Apabila setiap ahli yang terkait ingin sungguh-sungguh mendapatkan gambaran tentang dampak buruk dari teknologi komunikasi, tentu hasilnya akan se-mencegangkan dengan film dokumenter An Inconvenient Truth. Meskipun sebenarnya dari situ kita bisa lebih menata masyarakat dalam memahami penggunaan gadget, bukan menjauhi layaknya wabah yang mengerikan.
Bergesernya Batasan Normal Dan Tidak Normal Dalam Masyarakat
     Tentu saja tulisan ini tidak berniat untuk mengembalikan masyarakat pada kehidupan yang penuh dengan ramah tamah seperti di masa lalu. Juga tidak ada keinginan untuk men-judge perilaku anomali masyarakat modern. Sudah sewajarnya apabila dalam suatu fase kehidupan terdapat pergeseran nilai kehidupan sesuai dengan kemajuan yang telah dicapai pada zaman tersebut. Suka atau tidak.
     Jadi pertanyaan yang paling penting bukan, masih normalkah kita? Namun bagaimana kita memaklumi anomali perilaku masyarakat akibat kemajuan zaman. Dan juga memaklumi perilaku masyarakat yang masih bertahan dengan perilaku di zamannya. Seorang bapak atau ibu tua tentu lebih tertarik untuk bertegur sapa atau bercengkerama dengan seseorang di dekatnya dan tidak ingin menekuni telepon genggamnya, meskipun dia menyelipkan blackberry di saku bajunya sekalipun dan meskipun seseorang yang diajaknya bicara menikmati pembicaraan atau tidak. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang generasi melek gadget masa kini akan terlihat sangat kuno, karena akan ada generasi melek teknologi masa depan.
     Tidak ada yang benar dan salah mengenai dua perilaku antara generasi yang berbeda tersebut. Perbedaan keduanya hanya bertumpu pada bagaimana mereka memahami pentingnya beramah tamah dengan eforia demam gadget (teknologi komunikasi modern).
     Namun yang harus diwaspadai adalah, Indonesia, negara kita tercinta ini, merupakan negara consumer bukan inventor, kita lebih nyaman menjadi pengguna yang pilih enaknya saja, bukan penemu yang bergulat mengorbankan tenaga, waktu, dan uang. Sebagai pengguna pasti kita tidak bisa mengukur sejauh mana suatu barang atau teknologi yang ditemukan itu berakibat baik dan buruk bagi kehidupan kita. Setiap penemu yang memasarkan temuannya, selalu meyakinkan calon pembeli dengan kelebihan dan janji yang muluk-muluk mengenai produk tersebut. Jika kita hanya menggunakan kebaikannnya tanpa mengukur sejauh mana keburukan tersebut merugikan kita semua, hasilnya kita tidak lebih baik seperti tikus yang menjadi ajang eksperimen di laboratorium. Hiiii... ngeri deh!
    
      
    
     

5 komentar: