Kiprah walikota Surakarta Joko Widodo,
atau yang akrab disapa dengan Jokowi, dengan mobil nasional yang bernama Esemka
Rajawali patut diapresiasi. Selama ini ide tentang segala hal yang berbau nasional
atau slogan ‘Aku Cinta Buatan Indonesia’ tidak ubahnya ‘pepesan kosong’ alias
manis di mulut saja. Pada kelanjutannya barang-barang atau produk yang
dihasilkan oleh putra-putri Indonesia tersebut sepi dari perhatian pemerintah,
dan bernasib buruk ketika dipasarkan. Produk tersebut dibantai dengan cara yang
sangat kejam oleh produk luar negeri. Hanya sedikit yang mampu bersaing karena
selera turun temurun, yaitu rokok dan teh. Dan Jokowi tiba-tiba muncul sebagai
seorang birokrat yang mendukung habis-habisan mobil karya anak bangsa itu.
Jokowi dalam sebuah acara. (photo oleh google)
Dukungan Jokowi itu bukan tanpa resiko. Meskipun
banyak yang memuji dan mengikuti langkahnya, baik dari kalangan pemerintah,
swasta, dan selebriti, namun tidak sedikit yang menentang gagasan tentang mobil
nasional. Dan bukan Jokowi kalau tidak tahu hambatan yang harus dihadapinya. Di
negara ini, konflik kepentingan hampir selalu berakhir dengan sad ending, atau bahkan very sad ending. Dan banyak yang sudah
mengantisipasi kalau pada akhirnya kasus mobil Esemka Rajawali akan berakhir
tragis. Dan jika itu terjadi, tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak perlu
kiranya masyarakat turun ke jalan. Kalau mereka menganggap Esemka tidak layak
jalan, maka biarlah mobil buatan Jepang atau negeri lain nun jauh disana saja
yang lebih patut untuk melintas di jalan raya yang dibangun oleh tetesan
keringat dan air mata saudara-saudara kita.
Toh, sampai disini kiprah Jokowi sudah
merupakan keberhasilan yang selalu akan dikenang manis oleh setiap lapisan
masyarakat. Sampai kapanpun. Kita semua tahu resiko yang harus ditanggung oleh
walikota yang mantan pengusaha itu, saat ini dan di kemudian hari. Dalam kancah
perpolitikan, orang-orang yang berani bertindak akan bernasib mukti atau mati, jaya atau binasa.
Minimal yang bisa kita lakukan, dan saya selalu menganggap ini hanya perbuatan
pengecut, hanyalah berdoa agar Jokowi bernasib yang pertama saja. Untuk
Selamanya.
Soekarno dan Hatta (photo oleh google)
Melihat apa yang dilakukan oleh Jokowi
terhadap karya anak bangsa, saya selalu terkenang dengan apa yang juga telah
dilakukan oleh Bapak bangsa pendiri negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka
berdua adalah sosok dwi tunggal, penggagas persatuan dan kesatuan nusantara,
yang terdiri atas gugusan beribu pulau yang membentang dengan sangat panjang.
Sang dwi tunggal menyatukan gugusan pulau tersebut tanpa pertumpahan darah.
Mohon dicatat, tanpa pertumpahan darah. Sebuah prestasi tersendiri dari pendiri
negeri. Dan saya yakin mereka akan mendukung sepenuhnya apapun yang dibuat oleh
anak negeri di setiap gugusan pulau tersebut, dari peniti sampai pesawat, dari
sandal jepit sampai gedung bertingkat. Tidak terkecuali, mobil nasional bernama
Esemka Rajawali tersebut.
Bung Karno adalah negarawan jenius yang
mampu menghimpun dukungan moral yang besar dengan pidatonya. Dia juga ahli
strategi yang sulit dicari tandingan. Bung Hatta adalah politikus ulung yang
sangat paham dengan permasalahan ekonomi. Dia sadar sepenuhnya, bahwa
berpolitik dengan perut kosong adalah sama saja dengan bunuh diri. Dan yang
paling penting adalah keduanya sosok sederhana, yang menjujung tinggi
kepentingan umum, dan melupakan kepentingan pribadi. Setelah mengikuti carut
marut perjalanan bangsa ini, dari jaman orde baru sampai reformasi, sosok dwi
tunggal itu (SAAT INI) hampir nampak pada diri Jokowi. Dan kalau ada sepuluh
orang birokrat dengan jabatan strategis bertindak seperti Jokowi, dalam artian
menjunjung tinggi kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi (atau
golongan), tentu nasib bangsa ini akan lebih baik di masa depan.
Brad Pitt dalam Money Ball (photo oleh google)
Money
Ball
Mungkin kalau tulisan ini terlalu serius,
masih ada perbandingan yang lebih populer. Film terbaru Brad Pitt, yang
berjudul Money Ball, mengisahkan
tentang seorang pelatih baseball yang harus berjuang menghidupkan klub
baseball-nya dengan biaya yang minim. Para eksekutif klub baseball bernama
Oackland Athletics memberikan pilihan pada sang pelatih, Billy Beane (yang
diperankan oleh Brad Pitt), untuk mematuhi pemangkasan dana atau hengkang.
Beane memilih bertahan atas dasar masa lalu. Caranya, dia membeli para pemain
potensial yang harganya masih murah. Mulanya perjuangan klub itu sangat berliku
dan terseok-seok. Baru setelah menemukan ramuan permainan yang tepat, klub itu mampu
mengimbangi permainan lawan. Selesai? Belum. Saat Oackland Athletics mulai
menapaki urutan puncak klasemen, muncul klub kaya dari Boston yang memberikan
tawaran besar pada Beane. Dan Beane memilih setia bertahan di klub yang telah
membesarkannya. Puncaknya adalah saat pertandingan Oackland Athletics, yang
minim dana, melawan klub dari Boston, yang banjir uang. Ternyata Boston yang
memenangkan final kejuaraan baseball tersebut. Film ditutup dengan keterangan,
Beane masih berjuang bersama Oackland Athletics. Sekali lagi film Brad Pitt itu
mengingatkan kiprah Jokowi dengan mobil nasional Esemka Rajawali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar