Senin, 12 Maret 2012

Bung Karno, Bung Hatta, Dan Jokowi, Serta Brad Pitt


     Kiprah walikota Surakarta Joko Widodo, atau yang akrab disapa dengan Jokowi, dengan mobil nasional yang bernama Esemka Rajawali patut diapresiasi. Selama ini ide tentang segala hal yang berbau nasional atau slogan ‘Aku Cinta Buatan Indonesia’ tidak ubahnya ‘pepesan kosong’ alias manis di mulut saja. Pada kelanjutannya barang-barang atau produk yang dihasilkan oleh putra-putri Indonesia tersebut sepi dari perhatian pemerintah, dan bernasib buruk ketika dipasarkan. Produk tersebut dibantai dengan cara yang sangat kejam oleh produk luar negeri. Hanya sedikit yang mampu bersaing karena selera turun temurun, yaitu rokok dan teh. Dan Jokowi tiba-tiba muncul sebagai seorang birokrat yang mendukung habis-habisan mobil karya anak bangsa itu.
 
Jokowi dalam sebuah acara. (photo oleh google)
     Dukungan Jokowi itu bukan tanpa resiko. Meskipun banyak yang memuji dan mengikuti langkahnya, baik dari kalangan pemerintah, swasta, dan selebriti, namun tidak sedikit yang menentang gagasan tentang mobil nasional. Dan bukan Jokowi kalau tidak tahu hambatan yang harus dihadapinya. Di negara ini, konflik kepentingan hampir selalu berakhir dengan sad ending, atau bahkan very sad ending. Dan banyak yang sudah mengantisipasi kalau pada akhirnya kasus mobil Esemka Rajawali akan berakhir tragis. Dan jika itu terjadi, tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak perlu kiranya masyarakat turun ke jalan. Kalau mereka menganggap Esemka tidak layak jalan, maka biarlah mobil buatan Jepang atau negeri lain nun jauh disana saja yang lebih patut untuk melintas di jalan raya yang dibangun oleh tetesan keringat dan air mata saudara-saudara kita.
     Toh, sampai disini kiprah Jokowi sudah merupakan keberhasilan yang selalu akan dikenang manis oleh setiap lapisan masyarakat. Sampai kapanpun. Kita semua tahu resiko yang harus ditanggung oleh walikota yang mantan pengusaha itu, saat ini dan di kemudian hari. Dalam kancah perpolitikan, orang-orang yang berani bertindak akan bernasib mukti atau mati, jaya atau binasa. Minimal yang bisa kita lakukan, dan saya selalu menganggap ini hanya perbuatan pengecut, hanyalah berdoa agar Jokowi bernasib yang pertama saja. Untuk Selamanya.

Soekarno dan Hatta (photo oleh google)
     Melihat apa yang dilakukan oleh Jokowi terhadap karya anak bangsa, saya selalu terkenang dengan apa yang juga telah dilakukan oleh Bapak bangsa pendiri negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka berdua adalah sosok dwi tunggal, penggagas persatuan dan kesatuan nusantara, yang terdiri atas gugusan beribu pulau yang membentang dengan sangat panjang. Sang dwi tunggal menyatukan gugusan pulau tersebut tanpa pertumpahan darah. Mohon dicatat, tanpa pertumpahan darah. Sebuah prestasi tersendiri dari pendiri negeri. Dan saya yakin mereka akan mendukung sepenuhnya apapun yang dibuat oleh anak negeri di setiap gugusan pulau tersebut, dari peniti sampai pesawat, dari sandal jepit sampai gedung bertingkat. Tidak terkecuali, mobil nasional bernama Esemka Rajawali tersebut.
     Bung Karno adalah negarawan jenius yang mampu menghimpun dukungan moral yang besar dengan pidatonya. Dia juga ahli strategi yang sulit dicari tandingan. Bung Hatta adalah politikus ulung yang sangat paham dengan permasalahan ekonomi. Dia sadar sepenuhnya, bahwa berpolitik dengan perut kosong adalah sama saja dengan bunuh diri. Dan yang paling penting adalah keduanya sosok sederhana, yang menjujung tinggi kepentingan umum, dan melupakan kepentingan pribadi. Setelah mengikuti carut marut perjalanan bangsa ini, dari jaman orde baru sampai reformasi, sosok dwi tunggal itu (SAAT INI) hampir nampak pada diri Jokowi. Dan kalau ada sepuluh orang birokrat dengan jabatan strategis bertindak seperti Jokowi, dalam artian menjunjung tinggi kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi (atau golongan), tentu nasib bangsa ini akan lebih baik di masa depan.
 
Brad Pitt dalam Money Ball (photo oleh google)
Money Ball
     Mungkin kalau tulisan ini terlalu serius, masih ada perbandingan yang lebih populer. Film terbaru Brad Pitt, yang berjudul Money Ball, mengisahkan tentang seorang pelatih baseball yang harus berjuang menghidupkan klub baseball-nya dengan biaya yang minim. Para eksekutif klub baseball bernama Oackland Athletics memberikan pilihan pada sang pelatih, Billy Beane (yang diperankan oleh Brad Pitt), untuk mematuhi pemangkasan dana atau hengkang. Beane memilih bertahan atas dasar masa lalu. Caranya, dia membeli para pemain potensial yang harganya masih murah. Mulanya perjuangan klub itu sangat berliku dan terseok-seok. Baru setelah menemukan ramuan permainan yang tepat, klub itu mampu mengimbangi permainan lawan. Selesai? Belum. Saat Oackland Athletics mulai menapaki urutan puncak klasemen, muncul klub kaya dari Boston yang memberikan tawaran besar pada Beane. Dan Beane memilih setia bertahan di klub yang telah membesarkannya. Puncaknya adalah saat pertandingan Oackland Athletics, yang minim dana, melawan klub dari Boston, yang banjir uang. Ternyata Boston yang memenangkan final kejuaraan baseball tersebut. Film ditutup dengan keterangan, Beane masih berjuang bersama Oackland Athletics. Sekali lagi film Brad Pitt itu mengingatkan kiprah Jokowi dengan mobil nasional Esemka Rajawali.         
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar