Selasa, 13 Maret 2012

Generasi Tua Miskin Mencapai 97 %


     Sebuah pepatah bijak mengatakan, ‘menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan’. Pepatah tersebut mengandung peringatan yang sifatnya pragmatis dan mengena pada sasaran, yaitu kalau hanya tua tanpa bersikap dewasa itu berarti hidup tidak ada artinya, alias hanya akan menjadi beban anak cucu saja. Maka dari itu sebelum masa tua tiba, kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi tua dengan bersikap dewasa. Dan sedewasa apapun seorang tua bertindak dan berpikir, tanpa kemandirian dalam keuangan tetap saja tidak ada arti. Kemandirian secara keuangan itu berarti tetap menjaga kehormatan dan kredibilitas kehidupan seseorang yang sudah lanjut usia, sehingga bisa tetap (meminjam istilah Bung Karno) berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Diakui atau tidak.
     Keuangan merupakan masalah signifikan di segala usia, terutama di masa tua. Bukan hanya kebutuhan pokok, kebutuhan dari sektor lainpun akan segera mendera tanpa ampun di masa tua, masa yang sudah tidak produktif lagi, seperti kesehatan dan tuntutan sosial. Saat badan kita kuat kesehatan bukan menjadi masalah. Saat masa tidak produktif tiba, bukan berarti semua kebutuhan wajib yang sebelumnya selalu harus dipenuhi otomatis menjadi berhenti. Semua tuntutan kebutuhan itu tetap berjalan, meskipun tidak sebesar saat masih bekerja. Hal itulah yang membuat orang-orang yang pada usia lanjut mengeluh bermasalah dengan keuangan. Dan jumlahnya makin banyak saja dari hari ke hari.

     Indikasinya sangat jelas. Di tempat umum orang usia lanjut sangat sedikit sekali. Kalaupun ada, mereka dalam posisi yang memprihatinkan, seperti penjual makanan atau pernak-pernik yang tidak punya daya saing di pasar manapun. Itu belum termasuk dengan pengemis tua yang lalu lalang di perumahan dan jalanan.
     Lalu pada usia berapa seseorang disebut tua? Mereka yang memasuki usia pensiun (umumnya usia 55 tahun keatas) adalah mereka yang sudah dianggap memasuki masa tua. Namun pada kisaran waktu lima tahun setelah seseorang purna tugas, secara keuangan mereka masih merasakan sisa-sisa kejayaan yang mereka dapatkan saat bekerja. Mereka masih punya simpanan di bank dan kekayaan dalam bentuk properti dan kebendaan yang nampaknya tidak akan habis sampai kapanpun juga. Gaya hidup mereka tidak berimbas dengan kondisi keuangan yang sebenarnya telah berubah. Dan kebanyakan para pensiunan terlambat menyadari.
     Baru pada saat memasuki usia 65 tahun (saat harta mereka habis) mereka baru mengerti bahwa kehidupan mereka hanya tinggal ditopang oleh uang pensiun (bagi yang mendapatkan) yang tidak seberapa. Nah pada saat itu keterbatasan keuangan mulai mendera akibat kebiasaan di masa lalu yang sulit dihilangkan. Dan pertanyaan yang paling miris adalah sampai kapan mereka hidup di dunia ini, sedangkan kondisi keuangan benar-benar sudah menipis. Sangat menyedihkan, bukan?
     Bahkan pada keadaan lain, banyak juga yang masih bekerja (akibat minim atau tidak ada sama sekali uang pensiun). Padahal secara jasmani dan rohani mereka sudah dalam keadaan lelah dan sudah tidak mampu lagi untuk bersaing dengan tenaga muda. Para lanjut usia itu tetap membanting tulang untuk bertahan hidup.
Persentase Mengenaskan
     Dalam pengamatan pribadi yang dilakukan oleh penulis lima tahun terakhir pada golongan usia lanjut antara 60 sampai 70 tahun diberbagai tempat, didapatkan hasil yang cukup mengenaskan dimana persentase kemiskinan pada usia lanjut hampir mendekati 97 %. Miskin dalam pengertian usia lanjut adalah mereka yang tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhan pribadinya, dan membutuhkan orang lain sebagai penopang hidup. Ditambah lagi, mereka tidak memiliki jaminan kesehatan.
     Posisi yang paling besar ditempati oleh mereka yang tua dan miskin sebanyak 53 %. Sedangkan mereka yang meninggal dalam keadaan miskin sebanyak 45 %. Persentase 97 % didapat dari jumlah dari golongan tua yang masih hidup dan meninggal dalam keadaan miskin. Hanya ada 2,5 % golongan tua yang hidup nyaman, karena bekerja keras (pada masa usia produktif) dan berhemat. Dan lebih sedikit lagi, yaitu 0,5 % lanjut usia yang kaya raya, karena punya modal dan/atau bekerja keras.
Orang tua dan sepedanya (foto oleh google) 
     Ketimpangan antara kemiskinan dengan kemakmuran diantara golongan tua sangat besar. Itu berarti sebanyak apapun amal atau kekayaan yang dibagikan oleh golongan tua yang kaya raya dan hidup nyaman, tidak akan dapat mengurangi jumlah usia tua yang miskin. Mengapa demikian? Karena kemiskinan di usia tua relatif bersifat kebiasaan dan (hampir) pasti tidak bisa diperbaiki lagi, dalam arti harus membutuhkan bantuan yang sifatnya berkesinambungan hingga sisa hidupnya. Berbeda dengan kemiskinan yang dialami oleh anak-anak dan orang muda yang masih bisa diupayakan untuk mandiri.
Solusi Cermat Dan Tepat
     Gambaran tersebut bukan merupakan momok menakutkan yang akan dialami oleh hampir semua golongan yang akan menjadi tua. Justru merupakan pembelajaran. Pada masa yang sudah tidak produktif nanti, keuangan kita relatif bergantung pada pendapatan pada saat kita masih bekerja, terlepas dari faktor keberuntungan kita nantinya. Alangkah baiknya saat ini kita bersikap hati-hati dalam mengelola keuangan dan menyisihkan pendapatan untuk simpanan atau investasi aman. Dengan begitu kita,setidaknya, bisa masuk ke 2,5% golongan tua tersebut.       
     Pada akhirnya, sebagai perbandingan, ada satu pepatah yang merupakan tandingan pepatah bijak sebelumnya (maaf saya tidak bilang kalau pepatah ini bukan pepatah bijak, karena mungkin banyak orang yang mempercayainya), ‘Kita lahir telanjang, maka matipun tidak membutuhkan apa-apa’. Dengan kata lain, pepatah ini seperti ingin menandaskan bahwa sebesar apapun kita menimbun harta, pada akhirnya tidak akan dibawa ke liang kubur. Apakah ada yang salah dengan pengertian ini? Tidak. Sama sekali tidak. Semua itu tergantung persepsi kita masing-masing. Semoga kita semua bukan termasuk yang 97 % itu di kemudian hari.
    
      
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar