Sebuah pepatah bijak mengatakan, ‘menjadi
tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan’. Pepatah tersebut mengandung
peringatan yang sifatnya pragmatis dan mengena pada sasaran, yaitu kalau hanya
tua tanpa bersikap dewasa itu berarti hidup tidak ada artinya, alias hanya akan
menjadi beban anak cucu saja. Maka dari itu sebelum masa tua tiba, kita harus
mempersiapkan diri untuk menjadi tua dengan bersikap dewasa. Dan sedewasa
apapun seorang tua bertindak dan berpikir, tanpa kemandirian dalam keuangan
tetap saja tidak ada arti. Kemandirian secara keuangan itu berarti tetap
menjaga kehormatan dan kredibilitas kehidupan seseorang yang sudah lanjut usia,
sehingga bisa tetap (meminjam istilah Bung Karno) berdikari, berdiri diatas
kaki sendiri. Diakui atau tidak.
Keuangan merupakan masalah signifikan di
segala usia, terutama di masa tua. Bukan hanya kebutuhan pokok, kebutuhan dari
sektor lainpun akan segera mendera tanpa ampun di masa tua, masa yang sudah
tidak produktif lagi, seperti kesehatan dan tuntutan sosial. Saat badan kita
kuat kesehatan bukan menjadi masalah. Saat masa tidak produktif tiba, bukan
berarti semua kebutuhan wajib yang sebelumnya selalu harus dipenuhi otomatis
menjadi berhenti. Semua tuntutan kebutuhan itu tetap berjalan, meskipun tidak
sebesar saat masih bekerja. Hal itulah yang membuat orang-orang yang pada usia
lanjut mengeluh bermasalah dengan keuangan. Dan jumlahnya makin banyak saja
dari hari ke hari.
Indikasinya sangat jelas. Di tempat umum
orang usia lanjut sangat sedikit sekali. Kalaupun ada, mereka dalam posisi yang
memprihatinkan, seperti penjual makanan atau pernak-pernik yang tidak punya
daya saing di pasar manapun. Itu belum termasuk dengan pengemis tua yang lalu
lalang di perumahan dan jalanan.
Lalu
pada usia berapa seseorang disebut tua? Mereka yang memasuki usia pensiun
(umumnya usia 55 tahun keatas) adalah mereka yang sudah dianggap memasuki masa
tua. Namun pada kisaran waktu lima tahun setelah seseorang purna tugas, secara
keuangan mereka masih merasakan sisa-sisa kejayaan yang mereka dapatkan saat
bekerja. Mereka masih punya simpanan di bank dan kekayaan dalam bentuk properti
dan kebendaan yang nampaknya tidak akan habis sampai kapanpun juga. Gaya hidup
mereka tidak berimbas dengan kondisi keuangan yang sebenarnya telah berubah. Dan
kebanyakan para pensiunan terlambat menyadari.
Baru pada saat memasuki usia 65 tahun (saat
harta mereka habis) mereka baru mengerti bahwa kehidupan mereka hanya tinggal ditopang
oleh uang pensiun (bagi yang mendapatkan) yang tidak seberapa. Nah pada saat
itu keterbatasan keuangan mulai mendera akibat kebiasaan di masa lalu yang
sulit dihilangkan. Dan pertanyaan yang paling miris adalah sampai kapan mereka
hidup di dunia ini, sedangkan kondisi keuangan benar-benar sudah menipis.
Sangat menyedihkan, bukan?
Bahkan pada keadaan lain, banyak juga yang
masih bekerja (akibat minim atau tidak ada sama sekali uang pensiun). Padahal
secara jasmani dan rohani mereka sudah dalam keadaan lelah dan sudah tidak
mampu lagi untuk bersaing dengan tenaga muda. Para lanjut usia itu tetap
membanting tulang untuk bertahan hidup.
Persentase
Mengenaskan
Dalam pengamatan pribadi yang dilakukan
oleh penulis lima tahun terakhir pada golongan usia lanjut antara 60 sampai 70
tahun diberbagai tempat, didapatkan hasil yang cukup mengenaskan dimana
persentase kemiskinan pada usia lanjut hampir mendekati 97 %. Miskin dalam
pengertian usia lanjut adalah mereka yang tidak atau kurang mampu memenuhi
kebutuhan pribadinya, dan membutuhkan orang lain sebagai penopang hidup.
Ditambah lagi, mereka tidak memiliki jaminan kesehatan.
Posisi yang paling besar ditempati oleh
mereka yang tua dan miskin sebanyak 53 %. Sedangkan mereka yang meninggal dalam
keadaan miskin sebanyak 45 %. Persentase 97 % didapat dari jumlah dari golongan
tua yang masih hidup dan meninggal dalam keadaan miskin. Hanya ada 2,5 %
golongan tua yang hidup nyaman, karena bekerja keras (pada masa usia produktif)
dan berhemat. Dan lebih sedikit lagi, yaitu 0,5 % lanjut usia yang kaya raya,
karena punya modal dan/atau bekerja keras.
Orang tua dan sepedanya (foto oleh google)
Ketimpangan antara kemiskinan dengan kemakmuran
diantara golongan tua sangat besar. Itu berarti sebanyak apapun amal atau
kekayaan yang dibagikan oleh golongan tua yang kaya raya dan hidup nyaman,
tidak akan dapat mengurangi jumlah usia tua yang miskin. Mengapa demikian?
Karena kemiskinan di usia tua relatif bersifat kebiasaan dan (hampir) pasti
tidak bisa diperbaiki lagi, dalam arti harus membutuhkan bantuan yang sifatnya
berkesinambungan hingga sisa hidupnya. Berbeda dengan kemiskinan yang dialami
oleh anak-anak dan orang muda yang masih bisa diupayakan untuk mandiri.
Solusi
Cermat Dan Tepat
Gambaran tersebut bukan
merupakan momok menakutkan yang akan dialami oleh hampir semua golongan yang
akan menjadi tua. Justru merupakan
pembelajaran. Pada masa yang sudah tidak produktif nanti, keuangan kita relatif bergantung pada pendapatan pada saat
kita masih bekerja, terlepas dari faktor keberuntungan kita nantinya. Alangkah
baiknya saat ini kita bersikap hati-hati dalam mengelola keuangan dan
menyisihkan pendapatan untuk simpanan atau investasi aman. Dengan begitu kita,setidaknya,
bisa masuk ke 2,5% golongan tua tersebut.
Pada akhirnya, sebagai perbandingan, ada
satu pepatah yang merupakan tandingan pepatah bijak sebelumnya (maaf saya tidak
bilang kalau pepatah ini bukan pepatah bijak, karena mungkin banyak orang yang
mempercayainya), ‘Kita lahir telanjang, maka matipun tidak membutuhkan
apa-apa’. Dengan kata lain, pepatah ini seperti ingin menandaskan bahwa sebesar
apapun kita menimbun harta, pada akhirnya tidak akan dibawa ke liang kubur.
Apakah ada yang salah dengan pengertian ini? Tidak. Sama sekali tidak. Semua
itu tergantung persepsi kita masing-masing. Semoga kita semua bukan termasuk
yang 97 % itu di kemudian hari.