Selasa, 13 Maret 2012

Generasi Tua Miskin Mencapai 97 %


     Sebuah pepatah bijak mengatakan, ‘menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan’. Pepatah tersebut mengandung peringatan yang sifatnya pragmatis dan mengena pada sasaran, yaitu kalau hanya tua tanpa bersikap dewasa itu berarti hidup tidak ada artinya, alias hanya akan menjadi beban anak cucu saja. Maka dari itu sebelum masa tua tiba, kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi tua dengan bersikap dewasa. Dan sedewasa apapun seorang tua bertindak dan berpikir, tanpa kemandirian dalam keuangan tetap saja tidak ada arti. Kemandirian secara keuangan itu berarti tetap menjaga kehormatan dan kredibilitas kehidupan seseorang yang sudah lanjut usia, sehingga bisa tetap (meminjam istilah Bung Karno) berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Diakui atau tidak.
     Keuangan merupakan masalah signifikan di segala usia, terutama di masa tua. Bukan hanya kebutuhan pokok, kebutuhan dari sektor lainpun akan segera mendera tanpa ampun di masa tua, masa yang sudah tidak produktif lagi, seperti kesehatan dan tuntutan sosial. Saat badan kita kuat kesehatan bukan menjadi masalah. Saat masa tidak produktif tiba, bukan berarti semua kebutuhan wajib yang sebelumnya selalu harus dipenuhi otomatis menjadi berhenti. Semua tuntutan kebutuhan itu tetap berjalan, meskipun tidak sebesar saat masih bekerja. Hal itulah yang membuat orang-orang yang pada usia lanjut mengeluh bermasalah dengan keuangan. Dan jumlahnya makin banyak saja dari hari ke hari.

     Indikasinya sangat jelas. Di tempat umum orang usia lanjut sangat sedikit sekali. Kalaupun ada, mereka dalam posisi yang memprihatinkan, seperti penjual makanan atau pernak-pernik yang tidak punya daya saing di pasar manapun. Itu belum termasuk dengan pengemis tua yang lalu lalang di perumahan dan jalanan.
     Lalu pada usia berapa seseorang disebut tua? Mereka yang memasuki usia pensiun (umumnya usia 55 tahun keatas) adalah mereka yang sudah dianggap memasuki masa tua. Namun pada kisaran waktu lima tahun setelah seseorang purna tugas, secara keuangan mereka masih merasakan sisa-sisa kejayaan yang mereka dapatkan saat bekerja. Mereka masih punya simpanan di bank dan kekayaan dalam bentuk properti dan kebendaan yang nampaknya tidak akan habis sampai kapanpun juga. Gaya hidup mereka tidak berimbas dengan kondisi keuangan yang sebenarnya telah berubah. Dan kebanyakan para pensiunan terlambat menyadari.
     Baru pada saat memasuki usia 65 tahun (saat harta mereka habis) mereka baru mengerti bahwa kehidupan mereka hanya tinggal ditopang oleh uang pensiun (bagi yang mendapatkan) yang tidak seberapa. Nah pada saat itu keterbatasan keuangan mulai mendera akibat kebiasaan di masa lalu yang sulit dihilangkan. Dan pertanyaan yang paling miris adalah sampai kapan mereka hidup di dunia ini, sedangkan kondisi keuangan benar-benar sudah menipis. Sangat menyedihkan, bukan?
     Bahkan pada keadaan lain, banyak juga yang masih bekerja (akibat minim atau tidak ada sama sekali uang pensiun). Padahal secara jasmani dan rohani mereka sudah dalam keadaan lelah dan sudah tidak mampu lagi untuk bersaing dengan tenaga muda. Para lanjut usia itu tetap membanting tulang untuk bertahan hidup.
Persentase Mengenaskan
     Dalam pengamatan pribadi yang dilakukan oleh penulis lima tahun terakhir pada golongan usia lanjut antara 60 sampai 70 tahun diberbagai tempat, didapatkan hasil yang cukup mengenaskan dimana persentase kemiskinan pada usia lanjut hampir mendekati 97 %. Miskin dalam pengertian usia lanjut adalah mereka yang tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhan pribadinya, dan membutuhkan orang lain sebagai penopang hidup. Ditambah lagi, mereka tidak memiliki jaminan kesehatan.
     Posisi yang paling besar ditempati oleh mereka yang tua dan miskin sebanyak 53 %. Sedangkan mereka yang meninggal dalam keadaan miskin sebanyak 45 %. Persentase 97 % didapat dari jumlah dari golongan tua yang masih hidup dan meninggal dalam keadaan miskin. Hanya ada 2,5 % golongan tua yang hidup nyaman, karena bekerja keras (pada masa usia produktif) dan berhemat. Dan lebih sedikit lagi, yaitu 0,5 % lanjut usia yang kaya raya, karena punya modal dan/atau bekerja keras.
Orang tua dan sepedanya (foto oleh google) 
     Ketimpangan antara kemiskinan dengan kemakmuran diantara golongan tua sangat besar. Itu berarti sebanyak apapun amal atau kekayaan yang dibagikan oleh golongan tua yang kaya raya dan hidup nyaman, tidak akan dapat mengurangi jumlah usia tua yang miskin. Mengapa demikian? Karena kemiskinan di usia tua relatif bersifat kebiasaan dan (hampir) pasti tidak bisa diperbaiki lagi, dalam arti harus membutuhkan bantuan yang sifatnya berkesinambungan hingga sisa hidupnya. Berbeda dengan kemiskinan yang dialami oleh anak-anak dan orang muda yang masih bisa diupayakan untuk mandiri.
Solusi Cermat Dan Tepat
     Gambaran tersebut bukan merupakan momok menakutkan yang akan dialami oleh hampir semua golongan yang akan menjadi tua. Justru merupakan pembelajaran. Pada masa yang sudah tidak produktif nanti, keuangan kita relatif bergantung pada pendapatan pada saat kita masih bekerja, terlepas dari faktor keberuntungan kita nantinya. Alangkah baiknya saat ini kita bersikap hati-hati dalam mengelola keuangan dan menyisihkan pendapatan untuk simpanan atau investasi aman. Dengan begitu kita,setidaknya, bisa masuk ke 2,5% golongan tua tersebut.       
     Pada akhirnya, sebagai perbandingan, ada satu pepatah yang merupakan tandingan pepatah bijak sebelumnya (maaf saya tidak bilang kalau pepatah ini bukan pepatah bijak, karena mungkin banyak orang yang mempercayainya), ‘Kita lahir telanjang, maka matipun tidak membutuhkan apa-apa’. Dengan kata lain, pepatah ini seperti ingin menandaskan bahwa sebesar apapun kita menimbun harta, pada akhirnya tidak akan dibawa ke liang kubur. Apakah ada yang salah dengan pengertian ini? Tidak. Sama sekali tidak. Semua itu tergantung persepsi kita masing-masing. Semoga kita semua bukan termasuk yang 97 % itu di kemudian hari.
    
      
     

Senin, 12 Maret 2012

Sepenggal Pengadilan Anggie; Dengan Sistem Jury


     Sang jaksa berdiri dengan sikap gamang, bersiap melakukan pemeriksaan ulang. Dia adalah jaksa berpengalaman dua puluh lima tahun, yang tentu saja tahu bagaimana bersikap, tanpa perlu gamang lebih dahulu. Tapi memperlakukan terdakwa wanita (cantik), untuk kasus yang sedang disorot oleh berbagai media lokal dan luar negeri ini, butuh perlakuan khusus. Bahkan seorang jagal yang paling profesionalpun berdoa lebih dahulu sebelum melakukan tugasnya, bisiknya pelan.
     “Saudara Anggie,” Panggilnya pelan dan sangat sopan. Bahkan seorang sales yang sangat gila prestasi masih kalah sopan dengan jaksa tersebut. “Benarkah blackberry yang terbukti mengirim pesan pada saudara Nasrudin, terdakwa kasus korupsi wisma babu yang kini sudah dipenjara, bukan milik anda?”
     Anggie tercekat. Matanya membelalak, membentuk dua bulatan nan indah. Bibirnya yang penuh bergetar pelan sambil mengucap, “Bukan Bapak Jaksa yang saya hormati.”
     Di luar sidang, jaksa tersebut pasti akan muntah-muntah oleh kepalsuan terdakwa. Tapi ini didalam sidang, tempat dimana kedua belas orang juri harus diyakinkan. Dan jaksa tersebut bersikap tabah dan tersenyum lebih palsu lagi. “Jadi anda menolak mengakui bahwa blackberry itu bukan milik anda?”
     “Betul, Bapak,” Jawabnya mantap, setelah menarik napas dalam-dalam dan dengan tatapan yang bergetar.
     “Anda yakin itu?” Lanjutnya. “Saudari masih ingat kan, kalau sedang disumpah dibawah kitab suci? Itu berarti saudari bersumpah dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.” Empat kata terakhir diucapkan dengan penuh hormat.
     Terdakwa tersebut mengulang jawabannya.

Suasana pengadilan dengan sistem juri (photo oleh google)
     Jaksa tersebut diam sebentar. Pandangannya beralih pada kedua belas juri yang mendengarkan dengan seksama. “Bapak Ibu para Juri, anda semua sudah mendengar jawaban dari terdakwa kan?” Kali ini tatapannya berubah lelah. “Dan saya harap anda semua tidak mengalami kebingungan seperti yang saya alami saat ini.”
     Setiap mata dari dua belas orang tersebut memperhatikan jaksa dengan sikap setuju. Kini, ketiga belas orang yang nampak bersekongkol.
     “Bagaimana bisa seseorang yang pada tahun 2009 mendapat pendapatan total sekitar 100 juta perbulan, belum ditambah pendapatan lain, bisa...”
     “Keberatan yang mulia,” Teriak pembela dengan lantang. “Jaksa mencurigai terdakwa, dengan menyebut pendapatan terdakwa.”
     “Keberatan diterima,” Ujar sang Hakim. Lalu dia memandang pada para juri yang tidak sedang memperhatikannya. “Juri, mohon abaikan pernyataan jaksa tentang pendapatan saudari Anggie yang lain. Jaksa silahkan dilanjutkan.”
     Setelah berbasa-basi sebentar dengan hakim, jaksa melanjutkan. “Bagaimana bisa seseorang yang memiliki pendapatan 100 juta perbulan, tidak bisa membeli gadget populer yang sedang mewabah di kalangan eksekutif muda. Padahal kita semua tahu, gadget populer merupakan suatu keharusan bagi seorang eksekutif muda khususnya seseorang yang menarik seperti saudari Anggie ini, dalam artian, jika tidak memiliki sama artinya dengan ketinggalan jaman.”
     Jaksa tersenyum melihat dua belas dagu itu mengangguk hampir bersamaan. Lalu mengumumkan bahwa pemeriksaan itu telah selesai.
      

Bung Karno, Bung Hatta, Dan Jokowi, Serta Brad Pitt


     Kiprah walikota Surakarta Joko Widodo, atau yang akrab disapa dengan Jokowi, dengan mobil nasional yang bernama Esemka Rajawali patut diapresiasi. Selama ini ide tentang segala hal yang berbau nasional atau slogan ‘Aku Cinta Buatan Indonesia’ tidak ubahnya ‘pepesan kosong’ alias manis di mulut saja. Pada kelanjutannya barang-barang atau produk yang dihasilkan oleh putra-putri Indonesia tersebut sepi dari perhatian pemerintah, dan bernasib buruk ketika dipasarkan. Produk tersebut dibantai dengan cara yang sangat kejam oleh produk luar negeri. Hanya sedikit yang mampu bersaing karena selera turun temurun, yaitu rokok dan teh. Dan Jokowi tiba-tiba muncul sebagai seorang birokrat yang mendukung habis-habisan mobil karya anak bangsa itu.
 
Jokowi dalam sebuah acara. (photo oleh google)
     Dukungan Jokowi itu bukan tanpa resiko. Meskipun banyak yang memuji dan mengikuti langkahnya, baik dari kalangan pemerintah, swasta, dan selebriti, namun tidak sedikit yang menentang gagasan tentang mobil nasional. Dan bukan Jokowi kalau tidak tahu hambatan yang harus dihadapinya. Di negara ini, konflik kepentingan hampir selalu berakhir dengan sad ending, atau bahkan very sad ending. Dan banyak yang sudah mengantisipasi kalau pada akhirnya kasus mobil Esemka Rajawali akan berakhir tragis. Dan jika itu terjadi, tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak perlu kiranya masyarakat turun ke jalan. Kalau mereka menganggap Esemka tidak layak jalan, maka biarlah mobil buatan Jepang atau negeri lain nun jauh disana saja yang lebih patut untuk melintas di jalan raya yang dibangun oleh tetesan keringat dan air mata saudara-saudara kita.
     Toh, sampai disini kiprah Jokowi sudah merupakan keberhasilan yang selalu akan dikenang manis oleh setiap lapisan masyarakat. Sampai kapanpun. Kita semua tahu resiko yang harus ditanggung oleh walikota yang mantan pengusaha itu, saat ini dan di kemudian hari. Dalam kancah perpolitikan, orang-orang yang berani bertindak akan bernasib mukti atau mati, jaya atau binasa. Minimal yang bisa kita lakukan, dan saya selalu menganggap ini hanya perbuatan pengecut, hanyalah berdoa agar Jokowi bernasib yang pertama saja. Untuk Selamanya.

Soekarno dan Hatta (photo oleh google)
     Melihat apa yang dilakukan oleh Jokowi terhadap karya anak bangsa, saya selalu terkenang dengan apa yang juga telah dilakukan oleh Bapak bangsa pendiri negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka berdua adalah sosok dwi tunggal, penggagas persatuan dan kesatuan nusantara, yang terdiri atas gugusan beribu pulau yang membentang dengan sangat panjang. Sang dwi tunggal menyatukan gugusan pulau tersebut tanpa pertumpahan darah. Mohon dicatat, tanpa pertumpahan darah. Sebuah prestasi tersendiri dari pendiri negeri. Dan saya yakin mereka akan mendukung sepenuhnya apapun yang dibuat oleh anak negeri di setiap gugusan pulau tersebut, dari peniti sampai pesawat, dari sandal jepit sampai gedung bertingkat. Tidak terkecuali, mobil nasional bernama Esemka Rajawali tersebut.
     Bung Karno adalah negarawan jenius yang mampu menghimpun dukungan moral yang besar dengan pidatonya. Dia juga ahli strategi yang sulit dicari tandingan. Bung Hatta adalah politikus ulung yang sangat paham dengan permasalahan ekonomi. Dia sadar sepenuhnya, bahwa berpolitik dengan perut kosong adalah sama saja dengan bunuh diri. Dan yang paling penting adalah keduanya sosok sederhana, yang menjujung tinggi kepentingan umum, dan melupakan kepentingan pribadi. Setelah mengikuti carut marut perjalanan bangsa ini, dari jaman orde baru sampai reformasi, sosok dwi tunggal itu (SAAT INI) hampir nampak pada diri Jokowi. Dan kalau ada sepuluh orang birokrat dengan jabatan strategis bertindak seperti Jokowi, dalam artian menjunjung tinggi kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi (atau golongan), tentu nasib bangsa ini akan lebih baik di masa depan.
 
Brad Pitt dalam Money Ball (photo oleh google)
Money Ball
     Mungkin kalau tulisan ini terlalu serius, masih ada perbandingan yang lebih populer. Film terbaru Brad Pitt, yang berjudul Money Ball, mengisahkan tentang seorang pelatih baseball yang harus berjuang menghidupkan klub baseball-nya dengan biaya yang minim. Para eksekutif klub baseball bernama Oackland Athletics memberikan pilihan pada sang pelatih, Billy Beane (yang diperankan oleh Brad Pitt), untuk mematuhi pemangkasan dana atau hengkang. Beane memilih bertahan atas dasar masa lalu. Caranya, dia membeli para pemain potensial yang harganya masih murah. Mulanya perjuangan klub itu sangat berliku dan terseok-seok. Baru setelah menemukan ramuan permainan yang tepat, klub itu mampu mengimbangi permainan lawan. Selesai? Belum. Saat Oackland Athletics mulai menapaki urutan puncak klasemen, muncul klub kaya dari Boston yang memberikan tawaran besar pada Beane. Dan Beane memilih setia bertahan di klub yang telah membesarkannya. Puncaknya adalah saat pertandingan Oackland Athletics, yang minim dana, melawan klub dari Boston, yang banjir uang. Ternyata Boston yang memenangkan final kejuaraan baseball tersebut. Film ditutup dengan keterangan, Beane masih berjuang bersama Oackland Athletics. Sekali lagi film Brad Pitt itu mengingatkan kiprah Jokowi dengan mobil nasional Esemka Rajawali.         
    

Jumat, 02 Maret 2012

Masih Normalkah Kita?

     Dulu, jika berada di tengah sekumpulan orang, sudah sangat wajar apabila terjadi perbincangan akrab antar individu, seperti di angkutan umum, ruang tunggu, keramaian, atau pertemuan. Perbincangan tersebut isinya bisa menyangkut berbagai persoalan ringan dan serius dalam suasana santai. Kadang interaksi seperti itu bisa membawa seseorang dalam suasana kekeluargaan. Kemampuan seseorang berbicara dan mengembangkan bahan pembicaraan di tengah sekumpulan orang menjadi ukuran ahli atau tidaknya mereka bersosialisasi dalam masyarkat. Dalam artian kalau seseorang kurang atau sama sekali tidak bisa berbicara atau setidaknya berbasa-basi dengan orang lain, itu berarti orang itu dianggap tidak normal.  
     Tapi kini pengertian itu semakin jarang terimplementasi. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, seperti waktu yang semakin berharga, kerepotan berinteraksi dengan orang lain, lingkungan yang tidak mendukung, dan yang paling efektif untuk memberangus kemampuan berkomunikasi lisan antar individu, kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun sesungguhnya tidak seluruh lapisan masyarakat yang terimbas pada fenomena tersebut, hanya pada generasi melek gadget (istilah untuk teknologi komunikasi) yang lahir pada era 80’an keatas. Sudah merupakan pemandangan biasa apabila dalam sekumpulan orang yang tidak saling mengenal dalam berbagai usia dan latar belakang, anak muda berusia dibawah 30 tahun lebih suka mengakrabi telepon genggam modernnya, daripada berbincang dengan seseorang di sebelahnya. Kelakuan anak muda itu adalah sesuatu yang pasti akan dianggap aneh dan sangat egois apabila terjadi pada era sebelum tahun 1990 (masa ketika gadget belum merajalela).
     Dalam jajak pendapat yang dilakukan pada responden muda (generasi melek gadget) di beberapa kota besar dan kecil, 70 % menganggap bahwa gadget lebih menarik dari sebuah obrolan secara langsung. Sekitar 27 % menganggap gadget menarik, tapi obrolan juga tetap interaksi yang penting. Hanya 3 % responden yang menganggap gadget hanya sekedar kebutuhan alternatif dalam berkomunikasi, dan tetap mempertahankan komunikasi lisan. Responden yang tergila-gila pada gadget lebih banyak berasal dari kota besar, dimana situasinya sudah sangat mendukung untuk mengurangi interaksi sosial secara langsung dengan berbagai alasan. Sedangkan respoden yang tidak begitu antusias terhadap perkembangan teknologi komunikasi adalah mereka yang tinggal di kota kecil atau pedesaan, meskipun peredaran gadgetpun sebenarnya sudah sampai ke daerah mereka.
     Bahkan di kalangan muda juga banyak yang tidak ingin direpotkan dengan percakapan ramah tamah dan basa-basi, yang bagi mereka terlalu terpaksa dan memaksa. Dalam situasi apapun mereka ingin menikmati dan menggunakan waktu sesuai yang mereka inginkan tanpa ada aturan yang membatasi, baik tertulis atau tidak. Dengan anggota jajak pendapat yang sama, 85 % responden menyatakan tidak ingin berbicara sekumpulan orang yang belum dikenal. Sekitar 10 % menyatakan tidak keberatan untuk berbicara dengan sekumpulan orang yang baru pertama ditemui, walaupun sebenarnya enggan. Hanya 5 % yang selalu siap berbicara dengan sekumpulan orang yang belum dikenal, dengan alasan sopan santun atau ramah tamah.    
Generasi Autis
     Dengan fakta diatas, sudah menggambarkan bagaimana sikap generasi muda sekarang yang sudah tidak tertarik lagi ramah tamah interaksi sosial. Jika generasi mereka, yang baru mengenal gadget saat mereka tumbuh, saja sudah mengalami pergeseran perilaku seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana jauhnya pergeseran tersebut bagi generasi selanjutnya. Sekedar penjelasan, bila mereka yang mengenal alat komunikasi dan segala kemudahannya itu pada saat mereka tumbuh, sudah pasti orang tua telah mengajarkan norma sosial pada mereka saat gadget belum merajalela. Sedangkan bagi generasi yang ketika lahir sudah disediakan begitu banyak fasilitas gadget dengan segala kemajuannya yang mencenggangkan, tentu orang tua mereka tidak punya banyak waktu untuk mengenalkan norma kehidupan yang sangat berguna bagi masa depan mereka. Bahkan bisa jadi orang tua tersebut juga sudah terjangkit virus gadget. Pasti sangat konyol sekali kalau seorang ibu untuk menyanyikan lagu nina bobo saja harus men download lagu tersebut, untuk kemudian telepon genggamnya yang menyanyikannya pada sang anak. Bukan mulut ibu itu yang menyanyikannya. Tapi itu memang benar terjadi!

Gambar sebuah gadget (photo oleh google)
     Dengan banyaknya kalangan muda yang lebih tertarik pada gadgetnya daripada berinteraksi sosial, tentu akan semakin banyak pemandangan orang-orang yang lebih terpaku pada sesuatu yang digenggamnya di tempat-tempat umum. Mereka asyik dengan diri mereka dan dunia mereka sendiri, tanpa memperdulikan situasi yang terjadi di sekitarnya. Mirip keadaan yang dialami oleh seseorang yang mengidap autis. Autis dalam pengertian umum adalah kondisi manusia yang sejak lahir atau masa balita tidak bisa membentuk hubungan sosial atau berinteraksi dengan pihak lain. Dan gejala generasi autispun semakin menjadi-jadi di sekitar kita.
     Bahkan anehnya generasi tua yang masih mempertahankan interaksi sosial sebagai sikap beramah tamah, menjadi semakin terlihat kuno dengan kebiasaan tersebut di sekumpulan orang. Jadi orang yang tidak sedang mengakrabi gadget dan memilih bercakap-cakap dengan rekan disampingnya, malah lebih menimbulkan prasangka yang negatif atau marjinal. Sedangkan generasi autis yang melek teknologi dianggap sebagai sekumpulan manusia modern yang punya kelebihan. Repot kan!
So What Gitu Lo!
     Benar pernyataan subjudul diatas, so what gitu lo! Toh fenomena yang digambarkan baru saja, tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat luas. Sebatas tidak mengganggu ketertiban umum dan hukum tertulis atau tidak tertulis, apapun yang dilakukan oleh seseorang tetaplah merupakan kewajaran.  Justru tidak normal apabila meributkan sesuatu kewajaran tersebut. Sikap itu bisa dianggap gagap budaya atau lebih ekstrem lagi, menolak kemajuan jaman. Masalahnya, dan mungkin hal itu menjadi masalah yang sangat rumit, timbulnya generasi autis tersebut bisa merusak tatanan moral keluarga dan norma masyarakat yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia.
     Kita tahu terdapat tiga pilar penting untuk membentuk masyarakat yang baik, yaitu moral keluarga, norma masyarakat, dan ajaran agama. Masing-masing dari tiga pilar tersebut saling melengkapi dan mengisi. Satu saja dari tiga pilar tersebut tidak berfungsi, dibutuhkan pengganti sesuai dengan kemampuan berpikir atau tingkat intelektual dari masing-masing individu. Dan jika fungsi dari keluarga digantikan atau tergerus oleh teknologi modern, tentu akan sangat sulit mencari penggantinya, kecuali individu tersebut memiliki daya nalar positif yang bisa dipertanggung jawabkan. Itupun tidak menjamin kelancaran individu tersebut saat terjun kedalam masyarakat.
     Sampai saat ini belum pernah ada studi yang memaparkan dampak buruk dari teknologi gadget bagi masyarakat pada saat ini dan saat yang akan datang. Mungkin ada banyak kepentingan yang menolak penelitian tersebut, dan tindakan mewaspadai perkembangan teknologi modern bisa dianggap pelanggaran HAM. Bahkan di berbagai media pun lebih dipenuhi dengan iklan alat komunikasi paling terakhir, dan menempatkan tulisan tentang sisi negatif dari penggunaan telepon genggam di bagian yang paling tersembunyi. Apabila setiap ahli yang terkait ingin sungguh-sungguh mendapatkan gambaran tentang dampak buruk dari teknologi komunikasi, tentu hasilnya akan se-mencegangkan dengan film dokumenter An Inconvenient Truth. Meskipun sebenarnya dari situ kita bisa lebih menata masyarakat dalam memahami penggunaan gadget, bukan menjauhi layaknya wabah yang mengerikan.
Bergesernya Batasan Normal Dan Tidak Normal Dalam Masyarakat
     Tentu saja tulisan ini tidak berniat untuk mengembalikan masyarakat pada kehidupan yang penuh dengan ramah tamah seperti di masa lalu. Juga tidak ada keinginan untuk men-judge perilaku anomali masyarakat modern. Sudah sewajarnya apabila dalam suatu fase kehidupan terdapat pergeseran nilai kehidupan sesuai dengan kemajuan yang telah dicapai pada zaman tersebut. Suka atau tidak.
     Jadi pertanyaan yang paling penting bukan, masih normalkah kita? Namun bagaimana kita memaklumi anomali perilaku masyarakat akibat kemajuan zaman. Dan juga memaklumi perilaku masyarakat yang masih bertahan dengan perilaku di zamannya. Seorang bapak atau ibu tua tentu lebih tertarik untuk bertegur sapa atau bercengkerama dengan seseorang di dekatnya dan tidak ingin menekuni telepon genggamnya, meskipun dia menyelipkan blackberry di saku bajunya sekalipun dan meskipun seseorang yang diajaknya bicara menikmati pembicaraan atau tidak. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang generasi melek gadget masa kini akan terlihat sangat kuno, karena akan ada generasi melek teknologi masa depan.
     Tidak ada yang benar dan salah mengenai dua perilaku antara generasi yang berbeda tersebut. Perbedaan keduanya hanya bertumpu pada bagaimana mereka memahami pentingnya beramah tamah dengan eforia demam gadget (teknologi komunikasi modern).
     Namun yang harus diwaspadai adalah, Indonesia, negara kita tercinta ini, merupakan negara consumer bukan inventor, kita lebih nyaman menjadi pengguna yang pilih enaknya saja, bukan penemu yang bergulat mengorbankan tenaga, waktu, dan uang. Sebagai pengguna pasti kita tidak bisa mengukur sejauh mana suatu barang atau teknologi yang ditemukan itu berakibat baik dan buruk bagi kehidupan kita. Setiap penemu yang memasarkan temuannya, selalu meyakinkan calon pembeli dengan kelebihan dan janji yang muluk-muluk mengenai produk tersebut. Jika kita hanya menggunakan kebaikannnya tanpa mengukur sejauh mana keburukan tersebut merugikan kita semua, hasilnya kita tidak lebih baik seperti tikus yang menjadi ajang eksperimen di laboratorium. Hiiii... ngeri deh!